Mereka
adalah golongan yang dikhususkan oleh Allah swt.
2
Nabi Ada dibumi yaitu nabi Khidr dan Nabi ilyas a.s.
Ditempatkan di bagian bumi yang khusus yang Allah yang maha tahu yang mengetahui tempat itu
Ditempatkan di bagian bumi yang khusus yang Allah yang maha tahu yang mengetahui tempat itu
2
Nabi ada di langit yaitu nabi isa dan nabi idris a.s.
Ditempatkan di bagian langit yang khusus yang Allah yang maha tahu yang mengetahui tempat itu.
Ditempatkan di bagian langit yang khusus yang Allah yang maha tahu yang mengetahui tempat itu.
Wallahhua’lam.
Subhanaka la ‘ilma lana innaka antal ‘alimul hakim
Berikut
ini kami nukilkan kisahnya :
1.
Perihal Nabi Khidr ‘alaihi salam.
Bukhari,
Ibn al-Mandah, Abu Bakar al-Arabi, Abu Ya’la, Ibn al-Farra’, Ibrahim al-Harbi
dan lain-lain berpendapat, Nabi Khidir a.s. tidak lagi hidup dengan jasadnya,
ia telah wafat. Yang masih tetap hidup adalah ruhnya saja, iaitu sebagaimana
firman Allah:
وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِّن قَبْلِكَ الْخُلْدَ أَفَإِن
مِّتَّ فَهُمُ الْخَالِدُونَ
“Kami
tidak menjadikan seorang pun sebelum engkau (hai Nabi), hidup kekal abadi.”
(al-Anbiya’: 34)
“Setelah
lewat seratus tahun, tidak seorang pun yang sekarang masih hidup di muka bumi.”
Ibn
al-Šalah, al-Tsa’labi, Imam al-Nawawi, al-Hafiz Ibn Hajar al-Asqalani dan kaum
Sufi pada umumnya; demikian juga jumhurul-‘ulama’ dan ahl al-šalah (orang-orang
saleh), semua berpendapat, bahawa Nabi Khidir a.s. masih hidup dengan jasadnya,
ia akan meninggal dunia sebagai manusia pada akhir zaman.
Ibn
Hajar al-Asqalani di dalam Fath al-Bari menyanggah pendapat orang-orang yang
menganggap Nabi Khidir a.s. telah wafat, dan mengungkapkan makna hadisth yang
tersebut di atas, yaitu huraian yang menekankan, bahwa Nabi Khidir a.s. masih
hidup sebagai manusia. Ia manusia makhsus (dikhususkan Allah), tidak termasuk
dalam pengertian hadith di atas.
Nabi
Khidir a.s. masih hidup dengan jasadnya atau dengan jasad yang baru.
Dari
semua pendapat tersebut, dapat disimpulkan: Nabi Khidir a.s. masih hidup
dengan jasad dan ruhnya, itu tidak terlalu jauh dari kemungkinan sebenarnya.
Tegasnya, Nabi Khidir a.s masih hidup; atau, ia masih hidup hanya dengan
ruhnya, mengingat kekhususan sifatnya.
Ruhnya
lepas meninggalkan Alam Barzakh berkeliling di alam dunia dengan jasadnya yang
baru (mutajassidah). Itupun
tidak terlalu jauh dari kemungkinan sebenarnya. Dengan demikian maka pendapat
yang menganggap Nabi Khidir a.s. masih hidup atau telah wafat, berkesimpulan
sama; iaitu: Nabi Khidir a.s. masih hidup dengan jasadnya sebagai manusia,
atau, hidup dengan jasad ruhi (ruhani). Jadi, soal kemungkinan bertemu dengan
Nabi Khidir a.s. atau melihatnya adalah benar sebenar-benarnya. Semua riwayat
mengenai Nabi Khidir a.s. yang menjadi pembicaraan ahlullah (orang-orang
bertaqwa dan dekat dengan Allah S.W.T.) adalah kenyataan yang benar terjadi.
Silakan
lihat kitab Ušul al-Wušul karya Imam al-Ustaz Muhammad Zaki Ibrahim, Jilid I,
Bab: Kisah Khidir Bainas-Šufiyah Wa al-‘Ulama’. Dipetik dengan sedikit
perubahan dari al-Hamid al-Husaini, al-Bayan al-Syafi Fi Mafahimil Khilafiyah;
Liku-liku Bid‘ah dan Masalah Khilafiyah (Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd,
1998, m.s. 488).
Banyak
sekali riwayat-riwayat tentang nabi khidr dalam kitab-kitab yang mu’tabar. Ada
riwayat yang mengatakan bahwa Nabi khidr masih hidup dan mati ditangan Dajjal.
Dajjal
akan menangkap seorang pemuda beriman. Kemudian dajjal menyuruhnya untuk
menyembahnya, tapi pemuda itun menolak dan tetap beriman pada Allah. Lalu
Dajjal membunuhnya dan membelah nya menjadi Dua. satu Bagian Dilempar sejauh
mata memandang dan satu bagian dilempar sejauh mata memandang kesebelah
lainnya. Kemudian Dajjal menghidupkan kembali pemuda itu. dajjal menyuruhnya
agar beriman kepadanya karena ia telah mematikannya lalu menghidupkannya. Maka
pemuda itu tidak mau dan tetap beriman kepada Allah. Pemuda itu bahkan mengatakan
“Kamu benar-benar Dajjal!!”. Lalu Dajjal mewafatkannya lagi.
Ada
riwayat yang mengatakan pemuda beriman ini adalah Nabi Khidr a.s.
(wallahua’lam).
Dipetik
Dari Buku: Kisah Nabi Khidir a.s.
Pengarang:
Al-Hafiz Ibnu Hajar al Asqalaniy.